Stigma dan Diskriminasi Kusta:
Cerita yang Selalu Berulang
Stigma dan diskriminasi kusta masih saja terjadi. Ia selalu berulang bahkan seperti lintas generasi. Bagaimana menyudahi?
Sudah lama saya tidak ketemu Pak Subur. Mungkin sudah setahun lebih sejak saya pindah domisili dari Kalasan ke kota perbatasan Tegal-Brebes.
Dulu, biasanya setengah dua belas malam beliau sudah berada di depan rumah, memukul-mukul ketongan bonggol bambu yang dikalungkan di lehernya sebagai pertanda.
Kalau belum tidur, saya pasti keluar rumah dan menawarkan kopi. Kebiasaan beliau adalah duduk dikursi panjang di teras rumah yang difungsikan sebagai warung makan oleh ibu saya.
“Hitam atau putih, Pak De?” . Saya sebut Pak De karena usia beliau sepantaran dengan ayah saya, bahkan mungkin lebih tua.
“Apa saja deh yang penting kopi.” Jawab beliau sambil tertawa.
Pak Subur sudah seperti keluarga bagi saya sekeluarga. Beliau memang terbiasa ngopi sebelum melanjutkan tugasnya sebagai penjaga malam yang harus berkeliling kampung memastikan keamanan warga.
Nah, sembari ngopi, beliau biasanya bercerita banyak hal. Ada saja bahan ceritanya. Itu pula yang membuat saya tak bosan mendengarkan.
Sejak pindah domisili saya praktis kehilangan kontak dengan beliau. Entah bagaimana kabar beliau saat ini. Saya kadang kangen mendengar cerita-cerita beliau.
Sayangnya, saya tak mungkin whatsapp karena beliau memang tidak memiliki. Bukan karena tak mampu beli namun karena keterbatasan fungsi tangannya.
Ya. Kedua tangan beliau “kithing”. Jari-jari nya tak berfungsi sempurna. Beberapa diantaranya bahkan memendek, seperti bekas amputasi.
Beliau pernah bercerita kalau ia terkena kusta atau lepra ketika masih di usia remaja. Keterbatasan ekonomi dan kurangnya pengetahuan tentang kusta dari keluarga saat itu, menjadikan beliau terlambat mendapatkan pengobatan semestinya hingga mengakibatkan tangannya mengalami cacat permanen yang melabeli dirinya sebagai seorang disabilitas.
Cerita Lama Berbumbu Mitos Belaka
Sebagai Orang Yang Pernah Mengalami Kusta (OYPMK) atau terdampak kusta, Pak Subur pun tak lepas dari masa-masa sulit. Ia seperti tersisih dan cenderung mengalami diskriminatif dalam pergaulan.
“Di manapun tempatnya, orang selalu menghindar. Seolah-olah saya sangat menjijikan .” Cerita beliau suatu ketika mengenang masa lalu.
“Saya merasa perlakuan masyarakat saat itu jauh lebih menyakitkan daripada penyakit yang saya rasakan. Hati terasa teriris-iris , mas.” Sambung beliau.
Saya yakin bahwa apa yang dirasakan oleh Pak Subur juga dialami oleh penderita kusta lainnya. Di sebagian masyarakat memang masih ada stigma tentang kusta, terutama di lingkungan yang masyarakatnya masih belum teredukasi secara komprehensif tentang penyakit ini.
Stigma kusta di masyarakat sangat dipengaruhi karena ketidaktahuan bahkan mitos yang menganggap bahwa kusta itu penyakit kutukan dosa, karena guna-guna (santet), penyakit keturunan, mudah menular, tidak bisa diobati dan sebagainya. Hal ini menyebabkan penderita jauhi dan dikucilkan.
Padahal sebenarnya mitos kusta tersebut telah dipatahkan sejak ditemukan penyebabnya secara scientific (ilmiah).
Pada 1873 oleh ilmuwan Norwegia, Gerhard Henrik Armanuer Hansen menemukan fakta bahwa kusta disebabkan oleh kuman kusta yang disebut Mycobacterium leprae (M. leprae).
Kuman inilah yang menyerang kulit, sistem saraf perifer, selaput lendir saluran pernafasan atas, mata yang menyebabkan seseorang mengalami mati rasa atau kebas di beberapa bagian tubuhnya.
Artinya, kusta bukan penyakit kutukan, keturanan, santet, dan hal-hal yang dimitoskan oleh sebagian masyarakat selama ini.
Ini Fakta!
Bukan Orangnya!
Banyak atau sedikit, saya mendapatkan edukasi tentang kusta baik di sekolah maupun dari berbagai artikel yang saya baca. Itulah kenapa saya sendiri menolak tegas stigma kusta apalagi mendiskriminasi penderita kusta.
Bukan karena selama ini saya bergaul dengan OYPMK seperti Pak Subur yang sudah saya anggap sebagai saudara, namun karena stigma kusta di masyarakat benar-benar salah kaprah dan menyesatkan yang berdampak pada mentalitas OYPMK.
Salah satu stigma kuat yang masih ada di masyarakat adalah bahwa kusta sangat menular. Saya tak menampik kalau kusta masuk dalam golongan penyakit menular. Namun yang perlu dipahami adalah penularannya sangat sulit atau sangat tidak mudah.
Resiko penularan hanya terjadi 2 dari 100 orang. Itu pun bila tingkat kekebalan tubuh seseorang menurun serta kontak terjadi terus menerus dan berulang-ulang dengan penderita kusta yang belum berobat.
Jadi, kalau hanya bersentuhan sekali atau dua kali saja dengan penderita kusta, penularan bakteri sangat kecil, atau bahkan malah tidak akan menular sama-sekali.
Buktinya saya yang bergaul dengan Pak Subur bertahun-tahun pun baik-baik saja. Apalagi beliau memang sudah mendapatkan pengobatan secara berkala.
Penularan kusta yang sulit ini dapat kalian lihat sendiri dari berbagai edukasi baik artikel maupun video. Salah satunya adalah video Talkshow Ruang Publik KBR dengan tema Melihat Potret Kusta di Indonesia yang diselenggaran setahun silam oleh NLR Indonesia dan KBR.
Di video ini kalian bisa mendengar pemaparan menarik dari Dr. Udeng Daman, Technical Advisor Program Pengendalian Kusta NLR Indonesia.
Beliau mengatakan, hal lain yang menjadikan seseorang sangat sulit tertular bakteri Mycobacterium Leprae penyebab kusta juga karena bakteri ini mempunyai masa inkubasi yang relatif lama.
Bakteri atau kuman membutuhkan waktu inkubasi rata-rata 2-5 tahun. Dalam beberapa kasus bahkan sampai 10 tahun atau lebih.
Bila seseorang memiliki gaya hidup bersih dan sehat, memiliki tempat tinggal dengan sanitasi yang baik, serta langsung berobat ke dokter bila merasa memiliki gejala, maka bakteri kusta tersebut bisa diobati dan tidak akan menular lagi.
Mengubah Mindset Tentang Kusta
Berdasarkan data yang dihimpun per tanggal Januari 2022, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia mencatat bahwa jumlah kasus kusta tedaftar adalah 13.487 kasus, dengan penemuan kasus baru sebanyak 7.146 kasus.
Dengan jumlah ini Indonesia menempati urutan ketiga dalam jumlah penderita kusta di dunia setelah India dan Brasil. Artinya kusta masih menjadi masalah kita, masalah bangsa dan negara.
Namun, selain masih adanya penemuan kasus-kasus baru, negara kita dihadapkan pada masalah masih adanya stigma tentang kusta yang semakin memperberat upaya eliminasi kusta.
Sebagai generasi muda yang yang konsen pada issue-issue kesehatan, kemasyarakata dan lingkungan serta sebagai seorang blogger, saya tertantang untuk ambil peran aktif dalam menuntaskan permasalahan kusta tersebut. Apa yang saya lakukan?
Saya memulai dari hal-hal yang sangat sederhana yakni ikut mengabarkan dan mengkampanyekan cerita-cerita ceria tentang kusta melalui tulisan kepada keluarga, kolega terdekat, dan masyarakat.
Tujuan saya adalah ingin merubah mindset masyarakat yang masih memiliki stigma dan melakukan diskriminasi kusta.
Apalagi di wilayah tempat tinggal saya, di Tegal, Brebes dan sekitarnya masih belum terbebas dari kusta.
Jumlah penderita kusta di Tegal dan Brebes masih relatif tinggi. Di tahun 2022 ini saja bahkan terdapat temuan-temuan baru yang menjadikan Tegal dan Brebes menempati peringkat tertinggi jumlah penderita kusta di Jawa Tengah.
Penemuan Penderita Baru Kusta di Jawa Tengah
(Buku Saku Kesehatan Jawa Tengah - Tahun 2022)
Apa yang saya lakukan juga merupakan bentuk sinergitas berkelanjutan untuk dengan program-program pemberatasan kusta yang dilakukan oleh NLR Indonesia sebagai sebuah organisasi non-pemerintah yang selama ini fokus pada penanggulangan kusta dan konsekwensinya di Indonesia dan seluruh dunia.
Salah satu program kampanye NLR Indonesia adalah Suara untuk Indonesia Bebas Kusta (SUKA) yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran publik akan issue kusta dan mendorong keterlibatan kelompok sasaran untuk ikut mempromosikan issue kusta secara efektif melalui berbagai platform media.
Program "Suka - Suara Untuk Kusta"
Program peningkatan kesadaran masyarakat akan isu kusta serta perpartisipasi menyosialisasikan kegiatan pengurangan stigma dan diskriminasi melalui berbagai platform media.
Pandang OYPMK Setara Agar Mereka Berdaya
Orang Yang Pernah Mengalami Kusta (OYPMK) dan penyandang disabilitas adalah bagian dari kita. Mengucilkan mereka atas dasar stigma adalah tragedi kemanusiaan yang sesungguhnya.
Kusta nyasar mengena siapa saja, tua, muda, maupun lansia. Percayalah bahwa mereka yang menderita kusta (OYMPK) tidak pernah meminta itu terjadi. Begitu pula dengan kita.
Kita bantu mereka dengan memberikan pemahaman yang benar tentang kusta kepada masyarakat. Bersama-sama kita lawan stigma tentang kusta yang sudah salah kaprah.
Selain itu, mari kita pupuk empati dan hentikan pandangan bahwa OYMPK sebagai minoritas yang harus dihindari apalagi dikucilkan. Kusta hanya penyakit semata. Penderita bisa sembuh dengan pengobatan yang tepat serta tidak menimbulkan cacat bila terdeteksi secara dini.
Mari kita juga harus terus mendukung usaha pemerintah melalui kementerian terkait serta kampanye organisasi-organisasi non profit yang konsen pada pemberantasan kusta di Indonesia.
Apalagi pemerintah sendiri telah meengeluarkan Undang-undang No. 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas serta Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1998 Tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang disabilitas yang menjadi dasar kesamaan kesempatan dan kesetaraan bagi penyandang disabilitas dalam aktivitas ekonomi maupun sosialnya.
Di tempat saya bekerja, ada 2 (dua) orang disabilitas OYMPK yang diperkerjakan di bagian logistik. Kesempatan serupa juga dimiliki oleh Pak Subur yang dipekerjakan oleh lingkungan sebagai penjaga malam.
Yuk, stop stigma tentang kusta beri kesempatan OYMPK untuk berdaya karena mereka bagian dari kita.
Terima kasih telah membaca artikel berjudul “Stigma dan Diskriminasi Kusta dalam Masyarakat” semoga bermanfaat,
Tonton video menarik berjudul Lawan Stigma untuk Dunia yang Setara berikut ini.
#SUKA #NLRxKBR #LombaNLRxKBR #IndonesiaBebasKusta #menulisuntukkusta #SuaraUntukIndonesiaBebasKusta #janganlupakankusta #hinggakitabebasdarikusta